PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Saat
ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian
Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft
pasal-pasal yang disiapkan oleh Komis Hukum Internasional, diselenggarakanlah
suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24
Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk
mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan
Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei
1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan
hokum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama Negara pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Konvensi Wina dalam Pasal 55 sampai 72. Dalam hukum nasional pun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian, prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam praktenyanya nanti jika terjadi pengakhiran suatu perjanjian internasional diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama Negara pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Konvensi Wina dalam Pasal 55 sampai 72. Dalam hukum nasional pun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian, prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam praktenyanya nanti jika terjadi pengakhiran suatu perjanjian internasional diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi.
1.2
Tujuan
Tujuan dalam penulisan
makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kita seputar masalah perjanjian
internasional yang pernah dilakukan oleh suatu negara
1.3
Rumusan Masalah
Adapun pokok
pembahasan yang akan dibahas pada makalah ini adalah
1. Pengertian perjanjian internasional
2. Prosedur untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional
3. Akibat hukum dari berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional
1. Pengertian perjanjian internasional
2. Prosedur untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional
3. Akibat hukum dari berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional
4. Proses pembuatan perjanjian internasional
5. Manfaat perjanjian internasional kepada
negara yang melakukannya
BAB II
ISI
2.1
Perjanjian Internasional
Bila
bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian
internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja
dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian
internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional, antara lain
a. Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
b. Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
c. Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
d. Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional, antara lain
a. Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
b. Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
c. Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
d. Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
2.2 Perjanjian ekstradisi indonesia
Perjanjian
ekstradisi di Indonesia muncul sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan
hukum maupun politis. Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin
kepastian hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah
yuridiksi negara lain. Selain itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban
dari tindakan kejahatan yang dimaksud. Adapun kepentingan politisnya antara
lain untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain agar tercipta
komunikasi politik yang lebih baik.
Munculnya
perjanjian ekstradisi ini juga tentunya tidak terlepas dari implementasi asas
hukum internasional sebagaimana yang disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas
au dedere au punere. Artinya, pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat
dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau
diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili
pelaku tersebut (Abdussalam, 2006:28).
Di
Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam UU No.1 Tahun 1979.
Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh
negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Perjanjian-perjanjian
tersebut antara lain:
• Perjanjian ekstradisi RI-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974
• Perjanjian ekstradisi RI-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976
• Perjanjian ekstradisi RI-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978
• Perjanjian ekstradisi RI-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994
• Perjanjian ekstradisi RI-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001
• Perjanjian ekstradisi RI-Korea Selatan: (Belum diratifikasi)
• Perjanjian ekstradisi RI-Singapura: (Belum diratifikasi)
• Perjanjian ekstradisi RI-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974
• Perjanjian ekstradisi RI-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976
• Perjanjian ekstradisi RI-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978
• Perjanjian ekstradisi RI-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994
• Perjanjian ekstradisi RI-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001
• Perjanjian ekstradisi RI-Korea Selatan: (Belum diratifikasi)
• Perjanjian ekstradisi RI-Singapura: (Belum diratifikasi)
· Perjanjian
ekstradisi RI-India 25 januari 2011
Dalam
makalah ini kami hanya akan membahas 3 perjanjian saja:
2.2.1 Indonesia - India Sepakati Perjanjian Ekstradisi
Perjanjian
ekstradiksi dengan pemerintah India berlangsung Selasa 25 Januari 2011.
Kesepakatan tersebut diteken Menteri Luar Negeri kedua negara di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Manmohan Singh di
Hyderaba House, New Delhi, India.
Dengan
kesepakatan ini pelaku kriminal di Indonesia yang melarikan diri ke India akan
ditangkap polisi India dan diserahkan ke aparat hukum RI. Demikian juga
sebaliknya.
Selain
kesepakatan hukum tersebut, sepuluh kesefahaman lain kerjasama bilateral negara
di bidang pendidikan, perikanan, perhubungan, perdagangan, riset dan
perminyakan juga disepakati. Termasuk juga perjanjian kerjasama Dewan Pers
India dan Indonesia yang ditandatangani Prof. Dr. Bagir Manan dan G.N. Ray.
2.2.2 Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Philippina (10 Pebruari 1976)
Untuk mengembangkan
kerja sama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam
rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan
kerja sama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah
dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari
hukuman yang seharusnya diterima.
Kerja sama yang efektif
itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara
yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan
peradilan (administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam
masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya
dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar
pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut. Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia telah
mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan
perjanjian yang pertama bagi Indonesia.
Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan beberapa
negara,
khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk mengadakan
perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan
Perjanjian Ekstradisi denganNegara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina
ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi
dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas-azas umum yang sudah diakui dan
biasa dilakukan dalam hukum internasional
mengenai ekstradisi seperti:
a. Azas bahwa tindak pidana yang
bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistem hukum Indonesia
maupun sistem hukum Philipina (Double Criminality);
b. Kejahatan politik tidak
diserahkan;
c. Hak untuk tidak menyerahkan
warga negara sendiri, dan lain-lainnya.
Disamping itu di dalam
daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan
penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur
penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional
masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol dimana
ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang
dikenal sebagai Las Palmas (P.Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitan
tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan
Negeri Belanda.Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan
atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal wilayah.
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIKINDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philippina serta
Protokol tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang
ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli1976
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
REPUBLIK
INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Berhasrat
untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam
memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara
mereka dalam masalah ekstradisi.
Telah
mencapai Persetujuan sebagai berikut:
Pasal
I
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
Masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian
bersepakat untuk saling menyerahkan dalam hal-hal dan sesuai dengan
syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan
dalam wilayahnya yang didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum
karena melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II
Perjanjian ini yang dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau diluar wilayah
tersebut menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal IV.
Pasal
II
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
1. Orang-orang yang diserahkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut atau
dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dibawah ini, dengan
ketentuan bahwa kejahatan itu menurut hukum kedua pihak yang mengadakan
perjannjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan
dengan jangka waktu diatas satu tahun:
1. Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu
sendiri, pembunuhan anak, dan pembunuhan lainnya.
2. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan,
persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap wanita dibawah umur yang
ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang mengadakan
Perjanjian.
3. Penculikan, penculikan anak.
4. Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan,
penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau pembunuhan yang gagal.
5. Penahanan secara melawan hukum atau sewenang-wenang
6. Perbudakan, perhambaan
7. Perampokan, pencurian
8. Penggelapan, penipuan
9. Pemerasan, ancaman, paksaan
10. Penyuapan, korupsi
11. Pemalsuan dokumen, sumpah palsu
12. Pemalsuan barang, pemalsuan uang
13. Penyelundupan
14. Menimbulkan kebakaran, pengrusakan barang
15. Pembajakan udara, pembajakan laut, pemberontakan di
kapal
16. kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika,
obat-obat berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang
17. Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api,
bahan-bahan peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
2. Penyerahan juga akan dilakukan untuk penyertaan dalam
salah satu kejahatan yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku
utama atau peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga halnya
dengan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan
tersebut diatas, bila penyertaan, percobaan atau permufakatan jahat itu dapat
dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjanjian dengan hukuman
perampasan kemerdekaan diatas satu tahun.
3. Penyerahan dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan
Pihak yang diminta terhadap sesuatu kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai
dengan hukum Kedua Pihak yang mengadakan perjanjian.
4. Jika penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang
tercantum dalam ayat A, B atau C Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum
menurut hukum kedua pihak yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan
kemerdekaan diatas satu tahun, kejahatan tersebut dapat diserahkan menurut
ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak perduli apakah hukum kedua Pihak yang
mengadakan Perjanjian menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan
yang sama atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsur-unsurnya
sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih yang disebutkan dalam
Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian ini.
Pasal
III
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang
diminta untuk kejahatan yang menurut hukum Pihak yang diminta dilakukan
seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau ditempat yang diperlakukan
sebagai wilayahnya.
Pasal
IV
WILAYAH
WILAYAH
1. Didalam Perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari
Pihak yang mengadakan Perjanjian, ialah semua wilayah dibawah yurisdiksi Pihak
yang mengadakan Perjanjian itu, meliputi ruang angkasa, wilayah perairan dan
landas kontinen dan kendaraan-kendaraan air dan pesawat udara yang terdaftar di
negara Pihak yang mengadakan Perjanjian, bila pesawat udara itu sedang dalam
penerbangan atau bila kendaraan air itu berada di laut bebas waktu kejahatan
itu dilakukan. Menurut Perjanjian ini, sebuah pesawat udara akan dianggap
berada dalam penerbangan pada saat ketika pintunya ditutup untuk embarkasi
sampai saat ketika pintu itu dibuka untuk disembarkasi.
2. Bila kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu
dilakukan diluar wilayah Negara Peminta, pejabat pelaksana dari Negara yang
Diminta berwenang untuk melakukan penyerahan jika menurut hukum dari negara
yang diminta kejahatan itu dilakukan itu dalam keadaan yang sama juga diancam
dengan hukuman.
3. Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut
ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.
Pasal
V
KEJAHATAN POLITIK
KEJAHATAN POLITIK
1. Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang
dimntakan penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan
politik.
2. Jika timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan
suatu kejahatan politik, maka keputusan para pejabat dari negara yang diminta
akan menentukan.
3. Menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa
Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari masing-masing Pihak yang mengadakan
Perjanjian atau anggota keluarganya tidak akan dianggap sebagai kejahatan
politik sebagaimana dimaksud oleh Perjanjian ini.
Pasal
VI
PENYERAHAN WARGA NEGARA
PENYERAHAN WARGA NEGARA
1. masing-masing pihak mempunyai hak untuk menolak
penyerahan warga negaranya.
2. Jika Pihak yang Diminta tidak menyerahkan
warganegaranya, Pihak itu atas permintaan Pihak Peminta wajib menyerahkan
perkara bersangkutan kepada pejabat yang berwenang dari pihak yag diminta untuk
penuntutan. Untuk maksud ini berkas perkara-berkas perkara,
keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai kejahatan itu wajib diserahkan
oleh Pihak Peminta kepada Pihak yang diminta.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat B pasal
ini, Pihak yang diminta tidak akan diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu
kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang
berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi.
Pasal
VII
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
Penyerahan tidak akan dilakukan dalam salah satu dari
hal-hal sebagai berikut:
1. Bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili
dan dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan
yang dimintakan penyerahannya.
2. Bila penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk
kejahatan telah gugur karena kadaluarsa menurut salah satu dari Pihak yang
mengadakan Perjanjian.
3. Bila kejahatan merupakan suatu pelanggaran terhadap
hukum atau peraturan-peraturan militer yang bukan kejahatan menurut hukum
pidana umum
Pasal
VIII
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
1. Penyerahan juga tidak akan dilakukan dalam salah satu
hal berikut ini : Bila putusan terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh
pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta terhadap orang yang diminta
bertalian dengan kejahatan atau kejahatan-kejahatan yang dimintakan
penyerahannya.
2. Bila orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau
telah dituntut atau telah diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang
diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal
IX
AZAS KEKHUSUSAN
AZAS KEKHUSUSAN
Seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum
atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya,
selain daripada kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Bila Pihak yang diminta menyerahkan orang itu
menyetujuinya, permohonan persetujuan disampaikan kepada Pihak yang diminta,
disertai dengan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII. Persetujuan akan
diberikan jika kejahatan itu termasuk kejahatan yang dapat dimintakan
penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal II Perjanjian ini;
dan
2. Bila orang itu setelah mempunyai kesepakatan untuk
meninggalkan wilayah Pihak kepada siapa ia diserahkan, tidak menggunakan
kesempatan itu dalam waktu 45 hari setelah pembebasannya, atau kembali lagi ke
wilayah itu sesudah ia meninggalkannya.
Pasal
X
HUKUMAN MATI
HUKUMAN MATI
Jika kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat
dihukum dengan hukuman mati menurut hukum Pihak Peminta, tetapi jika untuk
kejahatan itu tidak ditentukan hukuman mati oleh hukuman Pihak yang diminta
atau jika hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan, maka penyerahan dapat
ditolak kecuali apabila pihak peminta dapat memberikan jaminan yang oleh Pihak
yang diminta dipandang cukup bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan.
Pasal
XI
PENAHANAN SEMENTARA
PENAHANAN SEMENTARA
1. Dalam keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari
Pihak Peminta dapat meminta penahanan sementara terhadap seseorang yang dicari
Pejabat-pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta akan mengambil keputusan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukumnya.
2. Dalam permintaan untuk penahanan sementara diterangkan
bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII tersedia dan bahwa ada
maksud untuk menyampaikan pemintaan penyerahan. Diterangkan juga untnuk
kejahatan apa penyerahan itu akan diminta, bila dan dimana kejahatan itu
dilakukan dan sedapat mungkin wajib memuat uraian tentang orang yang dicari.
3. Permintaan untuk penahanan sementara disampaikan di
Indonesia kepada National Central Bureau (NCB) Indonesia/ Interpol dan di
Philipina kepada National Bureau of Investigation atau melalui saluran
diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram atau melalui international
Criminal Police Organization (Interpol).
4. Pejabat Pihak Peminta akan diberitahukan dengan segera
keputusan atas permintaannya.
5. Penahanan sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu
20 hari setelah penahanan Pihak yang diminta tidak menerima permintaan
penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.
6. Pembebasan seseorang dari penahanan sementara tidak
menghalangi penahanan kembali dan penyerahan jika permintaan untuk penyerahan
diterima sesudah itu.
Pasal
XII
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
1. Pihak yang diminta akan memberitahukan keputusannya
tentang permintaan penyerahan kepada pihak peminta melalui saluran diplomatik.
2. Untuk setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan
alasan-alasannya.
3. Jika permintaan disetujui, Pihak peminta wajib
diberitahu tentang tempat dan tanggal penyerahan dan lamanya orang yang
bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.
4. Jika orang yang diminta penyerahannya tidak diambil
pada tanggal yang ditentukan, maka dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan
dalam ayat (5) pasal ini ia dapat dilepaskan sesuai melampaui 15 hari dan
bagaimanapun juga wajib dilepaskan sesuah melampaui 30 hari dan pihak yang
diminta dapat menolak penyerahannya untuk kejahatan yang sama.
5. Jika keadaan diluar kekuasaannya tidak memungkinkan
suatu Pihak untuk menyerahkan atau mengambil orang yang bersangkutan, maka
pihak itu wajib memberitahukan Pihak lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan
bersama tanggal lain untuk penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku
ketentuan-ketentuan dari ayat (4) Pasal ini.
Pasal
XIII
PENYERAHAN YANG DITUNDA
PENYERAHAN YANG DITUNDA
Pihak yang diminta, sesudah mengambil keputusan
tentang permintaan penyerahan dapat menunda penyerahan orang yang diminta,
supaya orang itu dapat diperiksanya, atau jika ia sudah dijatuhi hukuman,
supaya orang itu dapat menjalani hukumannya dalam wilayah Pihak itu untuk
kejahatan lain dari pada kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal
XIV
PENYERAHAN BARANG
PENYERAHAN BARANG
1. Pihak yang diminta, sepanjang hukumannya
memperbolehkan dan atas permintaan dari Pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan
barang:
1. yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau
2. yang diperbolehkan sebagai hasil dari kejahatan itu
dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau
yang diketemukan sesudah itu.
2. Barang yang disebut dalam ayat (1) Pasal ini wajib
diserahkan, sekalipun ekstradisi yang telah disetujui tidak dapat dilakukan
karena kematian orang yang diminta penyerahannya atau karena ia melarikan diri.
3. Apabila barang tersebut dapat disita atau dirampas
dalam wilayah dari Pihak yang diminta, maka dalam hubungan dengan proses
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, pihak ini dapat menahannya untuk
sementara atau menterahkannya sengan syarat bahwa barang itu akan dikembalikan.
4. Setiap hak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta
atau negara lain atas barang tersebut wajib dijamin. Dalam hal demikian, barang
tersebut wajib dikembalikan tanpa biaya kepada pihak yang diminta secepat
mungkin sesudah pemeriksaan pengadilan selesai.
Pasal
XV
TATA CARA
TATA CARA
Tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara
dari orang yang diminta penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada hukum Pihak
yang diminta.
Pasal
XVI
BIAYA-BIAYA
BIAYA-BIAYA
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam wilayah pihak yang
diminta berkenaan dengan penyerahan akan ditanggung oleh Pihak itu.
Pasal
XVII
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN
1. Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis
dan dikirim di Indonesia kepada Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada
Secretary of Justice, melalui saluran diplomatik.
2. Permintaan penyerahan wajib disertai:
1. Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari
penghukuman dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah
penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat yang sama dan
dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum Pihak Peminta
2. Keterangan dari kejahatan yang dimintakan
penyerahannya, waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan
penunjukkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat
mungkin, dan
3. Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan
atau jika ini tidak mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan
dan uraian secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama
dengan keterangan lain apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas dan
kebangsaannya.
3. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan
akan dibuat dalam Bahasa Inggris.
Pasal
XVIII
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
Pihak yang mengadakan perjanjian yang menerima dua
permintaan atau lebih untuk penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan
yang sama maupun untuk kejahatan yang berbeda, akan menentukan Negara-negara
Peminta mana Pihak tersebut akan menyerahkan orang yang dicari, dengan
mempertimbangkan keadaan dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian diantara
Negara-negara peminta, sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya
kejahatan, kewarganegaraan orang yang dicari, tanggal diterimanya permintaan,
dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi antara Pihak itu dengan Negara
atau Negara-negara peminta lainnya.
Pasal
XIX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Setiap perselisihan yang timbul antara kedua Pihak
karena penafsiran dan pelaksanaan dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara
damai dengan musyawarah atau perundingan.
Pasal
XX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Suatu kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal
Perjanjian ini mulai berlaku akan tetapi diselesaikan setelah tanggal
perjanjian ini mulai berlaku akan diserahkan sesuai dengan Perjanjian ini.
Pasal
XXI
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal penukaran
Piagam Ratifikasi.
Pasal
XXII
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah
satu Pihak dengan memberitahukan maksud untuk melakukan itu 6 (enM0 bulan
sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian yang demikian itu tidak akan menghalangi
statu proses yang telah dimulai sebelum pemberitahuan demikian dilakukan.
UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah
ini yang dikuasakan secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani
Perjanjian ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Yakarta pada tanggal
sepuluh Februari 1976, dalam bahasa Indonesia, Philipina dan Bahasa Inggris,
semua naskah adalah sama-sama sahnya. Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran,
maka nazca bahasa Inggris yang menentukan.
2.3 Perjanjian Antara
Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Filipina Tentang Kegiatan
Kerjasama Di Bidang Pertahanan Dan Keamanan (agreement Between The (UU 20 thn
2007)
Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan dan keamanan
merupakan faktor yang sangat fundamental dalam menjamin kelangsungan
hidup bernegara. Ketidakmampuan mempertahankan diri terhadap ancaman
dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri menyebabkan suatu negara tidak
dapat mempertahankan kedaulatannya.
Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi telah meningkatkan
intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan
peningkatan hubungan tersebut, kerja sama internasional melalui berbagai
bentuk perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral antara lain
kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan suatu hal
yang tidak dapat dihindari.
Peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan negara
memerlukan kerja sama bilateral antarnegara sahabat yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip saling menguntungkan, persamaan, dan penghormatan
penuh atas kedaulatan negara masing-masing. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan kerja sama dengan
Pemerintah Republik Filipina dalam bidang pertahanan dan keamanan melalui
persetujuan bersama yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Agustus 1997
yang pengesahannya dengan Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tergabung dalam satu
lembaga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut
Pasal 30 Undang-Undang Dasar tersebut, tugas pertahanan dilakukan oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedangkan tugas keamanan dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Karena pada saat
ditandatanganinya Persetujuan antara kedua negara, Angkatan Bersenjata di
Indonesia masih menggabungkan kekuatan militer dan polisi yang secara
administratif dikoordinasikan oleh Menhankam, maka yang dimaksud dengan
Angkatan Bersenjata di dalam Persetujuan ini meliputi TNI sebagai pengemban
tugas pertahanan dan POLRI sebagai pengemban tugas keamanan.
Beberapa bagian penting dalam persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Filipina, antara lain:
1. Kerja sama antara kedua badan pertahanan dan keamanan, meliputi
peningkatan di bidang pendidikan, latihan bersama, operasi di daerah
perbatasan, sumber daya manusia, kerja sama operasi, komunikasi,
teknologi pertahanan, dan sistem dukungan logistik.
2. Pembentukan Komite Bersama yang mempunyai tugas mengkaji dan
mengidentifikasi bidang kerja sama, memprakarsai dan mengusulkan
kegiatan bersama, mengoordinasikan, memantau dan mengendalikan
kegiatan yang telah disetujui, serta memecahkan permasalahan yang
timbul dari pelaksanaan persetujuan.
3. Kedua belah pihak melindungi hak milik industri dan hak cipta terhadap
penggunaan dan personel yang tidak berwenang.
4. Perlindungan terhadap informasi rahasia dan peralatan yang diperoleh
dari kerangka persetujuan, kecuali hanya diberikan melalui saluran resmi
atau saluran lain yang telah disetujui oleh para Ketua Komite Bersama.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum
perjanjian internasional dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;
1.
sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan
keluar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Kepurusan Presiden
karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.
2.
adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD
1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional
adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan
persetujuan bersama dalam pembuatan UU.
3.
perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat
sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU,
sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum
UU.
4.
Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi
maka substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hakdan
bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan,
5.
pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau
wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera di buat aturan
yang baru.
3.2 Saran
Mungkin
dalam makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dari pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
waw.. bermanfaat.
BalasHapusterimakasih atas kunjungannya :)
BalasHapus