Selasa, 01 Mei 2012

Makalah Perjanjian Internasional

BAB I
PENDAHULUAN
1.1          Latar Belakang
Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komis Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hokum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama Negara pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Konvensi Wina dalam Pasal 55 sampai 72. Dalam hukum nasional pun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian, prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam praktenyanya nanti jika terjadi pengakhiran suatu perjanjian internasional diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi.
1.2          Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kita seputar masalah perjanjian internasional yang pernah dilakukan oleh suatu negara
1.3           Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan yang akan dibahas pada makalah ini adalah
1.  Pengertian perjanjian internasional
2.  Prosedur untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional
3.  Akibat hukum dari berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional
4.  Proses pembuatan perjanjian internasional
5.  Manfaat perjanjian internasional kepada negara yang melakukannya
















BAB II
ISI
2.1 Perjanjian Internasional
Bila bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum internasional, antara lain
a. Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja, SH, yaitu
“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
b. Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger yaitu
“Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
c. Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht yaitu
“Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
d. Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu
“perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih
yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
2.2 Perjanjian ekstradisi indonesia
Perjanjian ekstradisi di Indonesia muncul sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan hukum maupun politis. Kepentingan hukum yang dimaksud adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi para pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah yuridiksi negara lain. Selain itu untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dari tindakan kejahatan yang dimaksud. Adapun kepentingan politisnya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara lain agar tercipta komunikasi politik yang lebih baik.
Munculnya perjanjian ekstradisi ini juga tentunya tidak terlepas dari implementasi asas hukum internasional sebagaimana yang disampaikan oleh Hugo Grotius, yakni asas au dedere au punere. Artinya, pengadilan terhadap pelaku kejahatan dapat dilakukan oleh negara tempat kejahatan itu terjadi (locus delicti) atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yuridiksi untuk mengadili pelaku tersebut (Abdussalam, 2006:28).
Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam UU No.1 Tahun 1979. Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Perjanjian-perjanjian tersebut antara lain:
• Perjanjian ekstradisi RI-Malaysia: UU RI No. 9 Tahun 1974
• Perjanjian ekstradisi RI-Philipina: UU RI No. 10 Tahun 1976
• Perjanjian ekstradisi RI-Thailand: UU RI No. 2 Tahun 1978
• Perjanjian ekstradisi RI-Australia: UU RI No. 8 Tahun 1994
• Perjanjian ekstradisi RI-Hongkong: UU RI No. 1 Tahun 2001
• Perjanjian ekstradisi RI-Korea Selatan: (Belum diratifikasi)
• Perjanjian ekstradisi RI-Singapura: (Belum diratifikasi)
· Perjanjian ekstradisi RI-India 25 januari 2011
Dalam makalah ini kami hanya akan membahas 3 perjanjian saja:
2.2.1 Indonesia - India Sepakati Perjanjian Ekstradisi
Perjanjian ekstradiksi dengan pemerintah India berlangsung Selasa 25 Januari 2011.  Kesepakatan tersebut diteken Menteri Luar Negeri kedua negara di hadapan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Manmohan Singh di Hyderaba House, New Delhi, India.
Dengan kesepakatan ini pelaku kriminal di Indonesia yang melarikan diri ke India akan ditangkap polisi India dan diserahkan ke aparat hukum RI. Demikian juga sebaliknya.
Selain kesepakatan hukum tersebut, sepuluh kesefahaman lain kerjasama bilateral negara di bidang pendidikan, perikanan, perhubungan, perdagangan, riset dan perminyakan juga disepakati. Termasuk juga perjanjian kerjasama Dewan Pers India dan Indonesia yang ditandatangani Prof. Dr. Bagir Manan dan G.N. Ray.
2.2.2 Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Republik Philippina (10 Pebruari 1976)
               Untuk mengembangkan kerja sama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu diadakan kerja sama dengan negara tetangga, agar orang-orang yang dicari atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.
               Kerja sama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia telah
mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia, yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indonesia.
Disamping itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan beberapa negara,
khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN juga akan diadakan Perjanjian Ekstradisi denganNegara-negara lain.
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini merupakan perjanjian ekstradisi yang kedua. Dalam Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan azas-azas umum yang sudah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum internasional
mengenai ekstradisi seperti:
a.    Azas bahwa tindak pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana, baik menurut sistem hukum Indonesia maupun sistem hukum Philipina (Double Criminality);
b.    Kejahatan politik tidak diserahkan;
c.    Hak untuk tidak menyerahkan warga negara sendiri, dan lain-lainnya.
               Disamping itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur penangkapan, penahanan, dan penyerahan akan tunduk semata-mata pada hukum nasional masing-masing negara.
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini disertai dengan Protokol dimana ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal sebagai Las Palmas (P.Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitan tertanggal 4 April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika Serikat dan Negeri Belanda.Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran yang berlainan atas bagian dan Perjanjian Ekstradisi ini yang mengenai hal wilayah.

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIKINDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
 
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Philippina serta
Protokol tertanggal 10 Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada undang-undang
ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
 
 
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli1976
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA:
Berhasrat untuk mengadakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara mereka dalam masalah ekstradisi.
Telah mencapai Persetujuan sebagai berikut:
Pasal I
KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI
Masing-masing pihak yang mengadakan Perjanjian bersepakat untuk saling menyerahkan dalam hal-hal dan sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan dalam wilayahnya yang didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II Perjanjian ini yang dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau diluar wilayah tersebut menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal IV.
Pasal II
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
1.      Orang-orang yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dibawah ini, dengan ketentuan bahwa kejahatan itu menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjannjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu diatas satu tahun:
1.      Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri, pembunuhan anak, dan pembunuhan lainnya.
2.      Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan, persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap wanita dibawah umur yang ditentukan oleh hukum pidana dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian.
3.      Penculikan, penculikan anak.
4.      Penganiayaan berat yang mengakibatkan cacat badan, penganiayaan, pembunuhan berencana yang gagal atau pembunuhan yang gagal.
5.      Penahanan secara melawan hukum atau sewenang-wenang
6.      Perbudakan, perhambaan
7.      Perampokan, pencurian
8.      Penggelapan, penipuan
9.      Pemerasan, ancaman, paksaan
10. Penyuapan, korupsi
11. Pemalsuan dokumen, sumpah palsu
12. Pemalsuan barang, pemalsuan uang
13. Penyelundupan
14. Menimbulkan kebakaran, pengrusakan barang
15. Pembajakan udara, pembajakan laut, pemberontakan di kapal
16. kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang
17. Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.
2.      Penyerahan juga akan dilakukan untuk penyertaan dalam salah satu kejahatan yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku utama atau peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga halnya dengan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut diatas, bila penyertaan, percobaan atau permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun.
3.      Penyerahan dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang diminta terhadap sesuatu kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai dengan hukum Kedua Pihak yang mengadakan perjanjian.
4.      Jika penyerahan diminta untuk suatu kejahatan yang tercantum dalam ayat A, B atau C Pasal ini dan kejahatan itu dapat dihukum menurut hukum kedua pihak yang mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan diatas satu tahun, kejahatan tersebut dapat diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak perduli apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang sama atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsur-unsurnya sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih yang disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian ini.
Pasal III
TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN
Pihak yang diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta untuk kejahatan yang menurut hukum Pihak yang diminta dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayahnya atau ditempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya.
Pasal IV
WILAYAH
1.      Didalam Perjanjian ini, yang dimaksud wilayah dari Pihak yang mengadakan Perjanjian, ialah semua wilayah dibawah yurisdiksi Pihak yang mengadakan Perjanjian itu, meliputi ruang angkasa, wilayah perairan dan landas kontinen dan kendaraan-kendaraan air dan pesawat udara yang terdaftar di negara Pihak yang mengadakan Perjanjian, bila pesawat udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan air itu berada di laut bebas waktu kejahatan itu dilakukan. Menurut Perjanjian ini, sebuah pesawat udara akan dianggap berada dalam penerbangan pada saat ketika pintunya ditutup untuk embarkasi sampai saat ketika pintu itu dibuka untuk disembarkasi.
2.      Bila kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu dilakukan diluar wilayah Negara Peminta, pejabat pelaksana dari Negara yang Diminta berwenang untuk melakukan penyerahan jika menurut hukum dari negara yang diminta kejahatan itu dilakukan itu dalam keadaan yang sama juga diancam dengan hukuman.
3.      Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya.
Pasal V
KEJAHATAN POLITIK
1.      Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimntakan penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai kejahatan politik.
2.      Jika timbul persoalan apakah suatu perkara merupakan suatu kejahatan politik, maka keputusan para pejabat dari negara yang diminta akan menentukan.
3.      Menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian atau anggota keluarganya tidak akan dianggap sebagai kejahatan politik sebagaimana dimaksud oleh Perjanjian ini.
Pasal VI
PENYERAHAN WARGA NEGARA
1.      masing-masing pihak mempunyai hak untuk menolak penyerahan warga negaranya.
2.      Jika Pihak yang Diminta tidak menyerahkan warganegaranya, Pihak itu atas permintaan Pihak Peminta wajib menyerahkan perkara bersangkutan kepada pejabat yang berwenang dari pihak yag diminta untuk penuntutan. Untuk maksud ini berkas perkara-berkas perkara, keterangan-keterangan dan bukti-bukti mengenai kejahatan itu wajib diserahkan oleh Pihak Peminta kepada Pihak yang diminta.
3.      Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat B pasal ini, Pihak yang diminta tidak akan diwajibkan untuk menyerahkan perkara itu kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penuntutan jika pejabat yang berwenang itu tidak mempunyai yurisdiksi.
Pasal VII
PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENYERAHKAN
Penyerahan tidak akan dilakukan dalam salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
1.      Bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2.      Bila penuntutan atau pelaksanaan hukuman untuk kejahatan telah gugur karena kadaluarsa menurut salah satu dari Pihak yang mengadakan Perjanjian.
3.      Bila kejahatan merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum atau peraturan-peraturan militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum
Pasal VIII
LARANGAN PENGULANGAN PENUNTUTAN ATAU PERADILAN
1.      Penyerahan juga tidak akan dilakukan dalam salah satu hal berikut ini : Bila putusan terakhir pengadilan sudah dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta terhadap orang yang diminta bertalian dengan kejahatan atau kejahatan-kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
2.      Bila orang yang dimintakan penyerahannya sedang atau telah dituntut atau telah diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh Negara yang diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal IX
AZAS KEKHUSUSAN
Seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dihukum atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum penyerahannya, selain daripada kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Bila Pihak yang diminta menyerahkan orang itu menyetujuinya, permohonan persetujuan disampaikan kepada Pihak yang diminta, disertai dengan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII. Persetujuan akan diberikan jika kejahatan itu termasuk kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal II Perjanjian ini; dan
2.      Bila orang itu setelah mempunyai kesepakatan untuk meninggalkan wilayah Pihak kepada siapa ia diserahkan, tidak menggunakan kesempatan itu dalam waktu 45 hari setelah pembebasannya, atau kembali lagi ke wilayah itu sesudah ia meninggalkannya.
Pasal X
HUKUMAN MATI
Jika kejahatan yang dimintakan penyerahannya dapat dihukum dengan hukuman mati menurut hukum Pihak Peminta, tetapi jika untuk kejahatan itu tidak ditentukan hukuman mati oleh hukuman Pihak yang diminta atau jika hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan, maka penyerahan dapat ditolak kecuali apabila pihak peminta dapat memberikan jaminan yang oleh Pihak yang diminta dipandang cukup bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan.
Pasal XI
PENAHANAN SEMENTARA
1.      Dalam keadaan mendesak pejabat yang berwenang dari Pihak Peminta dapat meminta penahanan sementara terhadap seseorang yang dicari Pejabat-pejabat yang berwenang dari Pihak yang diminta akan mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukumnya.
2.      Dalam permintaan untuk penahanan sementara diterangkan bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII tersedia dan bahwa ada maksud untuk menyampaikan pemintaan penyerahan. Diterangkan juga untnuk kejahatan apa penyerahan itu akan diminta, bila dan dimana kejahatan itu dilakukan dan sedapat mungkin wajib memuat uraian tentang orang yang dicari.
3.      Permintaan untuk penahanan sementara disampaikan di Indonesia kepada National Central Bureau (NCB) Indonesia/ Interpol dan di Philipina kepada National Bureau of Investigation atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram atau melalui international Criminal Police Organization (Interpol).
4.      Pejabat Pihak Peminta akan diberitahukan dengan segera keputusan atas permintaannya.
5.      Penahanan sementara dapat diakhiri, jika dalam waktu 20 hari setelah penahanan Pihak yang diminta tidak menerima permintaan penyerahan dan dokumen-dokumen yang disebut dalam Pasal XVII.
6.      Pembebasan seseorang dari penahanan sementara tidak menghalangi penahanan kembali dan penyerahan jika permintaan untuk penyerahan diterima sesudah itu.
Pasal XII
PENYERAHAN ORANG YANG AKAN DISERAHKAN
1.      Pihak yang diminta akan memberitahukan keputusannya tentang permintaan penyerahan kepada pihak peminta melalui saluran diplomatik.
2.      Untuk setiap permintaan yang ditolak wajib diberikan alasan-alasannya.
3.      Jika permintaan disetujui, Pihak peminta wajib diberitahu tentang tempat dan tanggal penyerahan dan lamanya orang yang bersangkutan ditahan untuk maksud penyerahan.
4.      Jika orang yang diminta penyerahannya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam ayat (5) pasal ini ia dapat dilepaskan sesuai melampaui 15 hari dan bagaimanapun juga wajib dilepaskan sesuah melampaui 30 hari dan pihak yang diminta dapat menolak penyerahannya untuk kejahatan yang sama.
5.      Jika keadaan diluar kekuasaannya tidak memungkinkan suatu Pihak untuk menyerahkan atau mengambil orang yang bersangkutan, maka pihak itu wajib memberitahukan Pihak lainnya. Kedua Pihak akan menetapkan bersama tanggal lain untuk penyerahan. Dalam hal demikian akan berlaku ketentuan-ketentuan dari ayat (4) Pasal ini.
Pasal XIII
PENYERAHAN YANG DITUNDA
Pihak yang diminta, sesudah mengambil keputusan tentang permintaan penyerahan dapat menunda penyerahan orang yang diminta, supaya orang itu dapat diperiksanya, atau jika ia sudah dijatuhi hukuman, supaya orang itu dapat menjalani hukumannya dalam wilayah Pihak itu untuk kejahatan lain dari pada kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
Pasal XIV
PENYERAHAN BARANG
1.      Pihak yang diminta, sepanjang hukumannya memperbolehkan dan atas permintaan dari Pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang:
1.      yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian, atau
2.      yang diperbolehkan sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang diketemukan sesudah itu.
2.      Barang yang disebut dalam ayat (1) Pasal ini wajib diserahkan, sekalipun ekstradisi yang telah disetujui tidak dapat dilakukan karena kematian orang yang diminta penyerahannya atau karena ia melarikan diri.
3.      Apabila barang tersebut dapat disita atau dirampas dalam wilayah dari Pihak yang diminta, maka dalam hubungan dengan proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, pihak ini dapat menahannya untuk sementara atau menterahkannya sengan syarat bahwa barang itu akan dikembalikan.
4.      Setiap hak yang mungkin diperoleh Pihak yang diminta atau negara lain atas barang tersebut wajib dijamin. Dalam hal demikian, barang tersebut wajib dikembalikan tanpa biaya kepada pihak yang diminta secepat mungkin sesudah pemeriksaan pengadilan selesai.
Pasal XV
TATA CARA
Tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara dari orang yang diminta penyerahannya, akan tunduk semata-mata pada hukum Pihak yang diminta.
Pasal XVI
BIAYA-BIAYA
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam wilayah pihak yang diminta berkenaan dengan penyerahan akan ditanggung oleh Pihak itu.
Pasal XVII
SURAT PERMINTAAN DAN DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIPERLUKAN
1.      Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di Indonesia kepada Menteri Kehakiman dan di Philipina kepada Secretary of Justice, melalui saluran diplomatik.
2.      Permintaan penyerahan wajib disertai:
1.      Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum Pihak Peminta
2.      Keterangan dari kejahatan yang dimintakan penyerahannya, waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis dan penunjukkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat mungkin, dan
3.      Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan lain apapun juga yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya.
3.      Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat dalam Bahasa Inggris.
Pasal XVIII
PERMINTAAN LEBIH DARI SATU
Pihak yang mengadakan perjanjian yang menerima dua permintaan atau lebih untuk penyerahan orang yang sama baik untuk kejahatan yang sama maupun untuk kejahatan yang berbeda, akan menentukan Negara-negara Peminta mana Pihak tersebut akan menyerahkan orang yang dicari, dengan mempertimbangkan keadaan dan terutama kemungkinan penyerahan kemudian diantara Negara-negara peminta, sifat beratnya setiap kejahatan, tempat dilakukannya kejahatan, kewarganegaraan orang yang dicari, tanggal diterimanya permintaan, dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi antara Pihak itu dengan Negara atau Negara-negara peminta lainnya.
Pasal XIX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Setiap perselisihan yang timbul antara kedua Pihak karena penafsiran dan pelaksanaan dari Perjanjian ini akan diselesaikan secara damai dengan musyawarah atau perundingan.
Pasal XX
KETENTUAN PERALIHAN
Suatu kejahatan yang telah dimulai sebelum tanggal Perjanjian ini mulai berlaku akan tetapi diselesaikan setelah tanggal perjanjian ini mulai berlaku akan diserahkan sesuai dengan Perjanjian ini.
Pasal XXI
MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal penukaran Piagam Ratifikasi.
Pasal XXII
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
Perjanjian ini dapat diakhiri setiap waktu oleh salah satu Pihak dengan memberitahukan maksud untuk melakukan itu 6 (enM0 bulan sebelumnya. Pengakhiran Perjanjian yang demikian itu tidak akan menghalangi statu proses yang telah dimulai sebelum pemberitahuan demikian dilakukan.
UNTUK MENYAKSIKANNYA, yang bertanda tangan di bawah ini yang dikuasakan secara sah oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Perjanjian ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Yakarta pada tanggal sepuluh Februari 1976, dalam bahasa Indonesia, Philipina dan Bahasa Inggris, semua naskah adalah sama-sama sahnya. Dalam hal terjadi perbedaan tafsiran, maka nazca bahasa Inggris yang menentukan.

2.3 Perjanjian Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Filipina Tentang Kegiatan Kerjasama Di Bidang Pertahanan Dan Keamanan (agreement Between The (UU 20 thn 2007)

               Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan dan keamanan
     merupakan faktor yang sangat fundamental dalam menjamin kelangsungan
     hidup bernegara. Ketidakmampuan mempertahankan diri terhadap ancaman
     dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri menyebabkan suatu negara tidak
     dapat mempertahankan kedaulatannya.
 
             Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu
     pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi telah meningkatkan
     intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan
     peningkatan hubungan tersebut, kerja sama internasional melalui berbagai
     bentuk perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral antara lain
     kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan merupakan suatu hal
     yang tidak dapat dihindari.
 
            Peningkatan kemampuan pertahanan dan keamanan negara
     memerlukan kerja sama bilateral antarnegara sahabat yang dilaksanakan
     berdasarkan prinsip saling menguntungkan, persamaan, dan penghormatan
     penuh atas kedaulatan negara masing-masing. Berdasarkan pertimbangan
     tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan kerja sama dengan
     Pemerintah Republik Filipina dalam bidang pertahanan dan keamanan melalui
     persetujuan bersama yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Agustus 1997
     yang pengesahannya dengan Undang-Undang.
 
        Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tergabung dalam satu
lembaga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut
Pasal 30 Undang-Undang Dasar tersebut, tugas pertahanan dilakukan oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedangkan tugas keamanan dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Karena pada saat
ditandatanganinya Persetujuan antara kedua negara, Angkatan Bersenjata di
Indonesia masih menggabungkan kekuatan militer dan polisi yang secara
administratif dikoordinasikan oleh Menhankam, maka yang dimaksud dengan
Angkatan Bersenjata di dalam Persetujuan ini meliputi TNI sebagai pengemban
tugas pertahanan dan POLRI sebagai pengemban tugas keamanan.
 
       Beberapa bagian penting dalam persetujuan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Filipina, antara lain:
 
1.   Kerja sama antara kedua badan pertahanan dan keamanan, meliputi
     peningkatan di bidang pendidikan, latihan bersama, operasi di daerah
     perbatasan, sumber daya manusia, kerja sama operasi, komunikasi,
     teknologi pertahanan, dan sistem dukungan logistik.
 
2.   Pembentukan Komite Bersama yang mempunyai tugas mengkaji dan
     mengidentifikasi bidang kerja sama, memprakarsai dan mengusulkan
     kegiatan bersama, mengoordinasikan, memantau dan mengendalikan
     kegiatan yang telah disetujui, serta memecahkan permasalahan yang
     timbul dari pelaksanaan persetujuan.
 
3.   Kedua belah pihak melindungi hak milik industri dan hak cipta terhadap
     penggunaan dan personel yang tidak berwenang.
 
4.   Perlindungan terhadap informasi rahasia dan peralatan yang diperoleh
     dari kerangka persetujuan, kecuali hanya diberikan melalui saluran resmi
     atau saluran lain yang telah disetujui oleh para Ketua Komite Bersama.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian internasional dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut;
1.    sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan keluar, perjanjian internasional seharusnya berwadah hukum Kepurusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.
2.    adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan UU.
3.    perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam hukum nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UU.
4.    Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjanjian internasional yang menimbulkan hakdan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan,
5.    pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera di buat aturan yang baru.

3.2 Saran
            Mungkin dalam makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dari pembaca sekalian.

DAFTAR PUSTAKA
 

 


 




2 komentar:

Terpopuler

Labels

Iklan

Gratis pasang iklan disini,hub:085731565113(terbatas)